deskripsi gambar
News Update :

MANIFESTO MUHAMMAD DALAM RESOLUSI KONFLIK DAN PERDAMAIAN

Senin, 07 Oktober 2013

MANIFESTO MUHAMMAD
DALAM RESOLUSI KONFLIK DAN PERDAMAIAN

A.    Pendahuluan
Agama Islam merupakan agama yang berasal dari kata aslama-yuslimu-islam, yang berarti "ketundukan" kepada Allah untuk mencapai "keselamatan dan kedamaian" (salam), baik di dunia maupun di akhirat. Jadi Islam pada dasamya adalah proses, bukan tujuan, yaitu setiap proses yang menghantarkan pada keselamatan atau kedamaran.[1]Nama Islam, dengan demikian, bukan didasarkan pada nama pendiri, suku, bangsa atau tempat awal penyebarannya. Dalam al-Qur’an, kata Islam ini berasal dari Tuhan sebagai pedoman hidup manusia untuk mencapai keselamatan dan kedamaian. Oleh karena itu, Islam, sebagaimana informasi al-Qur’an, tidak hanya dibawa oleh Nabi Muhammad tetapi juga oleh nabi-nabi sebelumnya semenjak Nabi Adam AS.[2]
Terkait dengan hal tersebut Islam sebagai salah satu agama samawi yang meletakan nilai-nilai kemanusia atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan luhur, tidak ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima” dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu sifatnya fitrah.[3]Keberagamaan dalam Islam tentu saja harus dipandang secara komprehensif dan seyogyanya harus diposisikan sbagai sebuah perspektif tanpa menapikan yang lain. Keberagamaan yang berbeda (defernsial) antara satu dengan yang lainnya merupakan salah satu nilai luhur kemanusiaan itu sendiri. Karena Islam itu lahir dengan pondasi keimanan, syariat,  muamalat dan ihsan, Keimanan adalah inti pemahaman manusia terhadap sang pencipta, syariat adalah jalan menuju penghambaan manusia kepada tuhannya, sedangkan muamalat dan Ihsan adalah keutamaan manusia memandang dirinya dan diri orang lain sebagai sebuah hubungan harmonis yang bermuara pada kesalehan sosial.[4]
Keberagamaan manusia yang berbeda inilah yang perlu diangkat sebagai sebuah momentum guna melihat sisi keunikan manusia sebagai ciptaan Tuhan itu sendiri. Persoalannya adalah apakah keberagamaan yang berbeda itu akan bermuara kearah yang sama? Kalau kita melihat secara seksama bahwa pada intinya keberagamaan manusia adalah pencarian terhadap kebenaran, baik kebenaran sosial hubungan antar manusia atau kebenaran transenden, yaitu cara pandang dan sikap manusia dalam menempatkan Tuhan dan makhluk ciptaan-Nya sebagai kebenaran absolut. Maka keberagamaan itu sendiri akan mengarah pada bagaimana kebenaran itu bisa diraih dalam rangka pendekatan diri kepada Tuhan sebagai manifestasi dari “iman[5].
Islam menghendaki “ketaatan” kepada Allah. Tanpa ketaatan kepada Allah, sesungguhnya tiada Islam. Untuk taat kepada Allah dibutukan “ketaatan” kepada Rasulullah (Nabi Muhammad SAW). Berbagai ayat dalam Al Qur’an memerintahkan ketaatan kepadaNya, namun sekaligus memerintahkan ketaatan kepada RasulNya. Sebaliknya, bermaksiat kepada Allah dikaitkan langsung dengan kemaksiatan kepada RasulNya. Muhammad telah dijadikan, tidak saja sebagai “muballigh” (conveyer),namun sekaligus sebagai contoh tauladan “hidup” bagi seluruh pengikutnya. Ketauladanan menuntut sebuah komitmen untuk mengikut. Sedangkan untuk mengikut kepada seseorang atau sesuatu diperlukan pengetahuan tentangnya.[6]
Terkait dengan latar belakang tersebut, dalam tilisan ini mengangkat tema “Muhammad inisiator resolusi konflik dan perdamaian”, guna menganalisa lebih dalam terkait model, ajaran (preseden) resolusi konflik dan perdamaian yang di ajarkan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, dengan memfokuskan kepada beberapa sub pokok bahasan diantaranya, sekilas historis Muhammad, ajaran resolusi konflik dan perdamaiannya yang dibagi dalam beberpa bagian diantaranya, Muhammad dan resolusi kasus Hajar Aswad, Piagam Madinah, Muhajirin dan Anshor, Perjanjian Hudaibiyah, dan Futuhal Makkah, serta menganalisa teknologi/model resolusi konflik dan perdamaian Muhammad.

Selengkapnya dapat diakses di : In Progress...




[1] Yudian Wahyudi, Maqashid Syari’ah Dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam Dari Harvard Ke Sunan Kalijaga (Yogyakarta: Pesatren Nawesea Press, 2007), hlm. 21.
[2] Pete Seda, Islam ls... (Riyadh: Al-Haramain Foundation, 2002), hlm.1.
[3] Ahmad Mudlor, Etika Dalam Islam, (Surabaya : Al-Ikhlas, t.t.), hlm. 5
[4] Qomarudin Hidayat, Etika Dalam Kitab Suci Dan Relevansinya Dalam Kehidupan Modern Studi Kasus Di Turki, (Jakarta : Paramadina, t.t.), dalam kumpulan artikel Yayasan Paramadina, http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Paramadina/Konteks/Etika1.html, diakses pada 19 Nopember 2012.
[5] Ismail R. Al-Faruqi dan Lais Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan, Cet. IV. (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 3 Dalam hubungannya dalam pencarian kebenaran dari sudut pandang keberagamaan manusia yang berbeda (hetrogenitas-religiusitas) tentu akan didapat adalah berbedaan cara pandang (persfektif) dan sangat tergantung dorongan dari manusia itu sendiri yang sudah dikatakan di atas sebagai fitrah mansia yang given  akan mengarahkan kepada kebenaran atau sebaliknya. Dilihat dalam kontek ini adalah bagaimana manusia memposisikan diri selain pemahaman terhadap kebenaran transenden,juga memahamkan dirinya pada kebenaran hubungan antar manusia yang dalam Islam masuk dalam kategori “ihsan”  yang secara harfiah berarti kebaikan dan kebajikan. Dorongan ihsan itu sendiri akan melahirkan sebuah prilaku, yaitu moral atau etika, Majid Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiuddin Baidhawy (Surakarta: Penerbit Pustaka Pelajar Universitas Muhammadiyah, 1983), hlm. 7
[6] Lihat, M. Syamsi Ali, Muhammad SAW Inisiator Perdamaian, dalam, Mentari Timur; Media Komunikasi Terpercaya Masyarakat Asia di Amerika Serikat, edisi Maret, 2007, hlm. 1
Share this Article on :

0 komentar :

Posting Komentar

 

© Copyright Ceiist 2012 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Modified by Haris Media .